jump to navigation

Gizi Buruk di Lumbung Padi Juli 15, 2008

Posted by orangmiskin in hidup.
Tags: , , , ,
trackback

Pasien Gizi Buruk dari Kabupaten Solok

Anak gizi buruk m jamil

Dengan slang menembus hidungnya, Putra Sanger (2,5) terlihat tergolek lemah di Ruang Rawat Anak RS M Jamil Padang. Walau slang itu mengalirkan makanan pada tubuhnya, badannya masih kelihatan membengkak. Kulitnya juga terlihat menghitam dan melepuh. Sedangkan kepala tampak lebih besar dibanding tubuhnya yang ringkih. Posturnya tidak lagi simetris.

Saat saya berkunjung ke bangsal anak Selasa (15/7) pukul 10.30 WIB, Putra terlihat lelap. Dia tertidur, setelah sebelumnya terus rewel. Sang ibu, Leni (20) sedang menyiapkan susu. Dia sendirian saja di ruangan itu. Dua tempat tidur lainnya kosong, tidak terisi pasien.

“Alah sabulan labiah kami disiko. Putra alah agak sehat. Alah bisa makan nasi lunak,” kata Leni. Saat itu, selain saya banyak wartawan lain yang sedang mewawancarai ibu muda ini.

Putra adalah anak pertama pasangan Leni dan Dasral (25). Di usianya yang sudah 2,5 tahun, anak pertama pasangan ini hanya memiliki berat badan 7,6 Kg saja. Idealnya anak usia 2,5 tahun itu mempunyai berat 14 kg.

Awal masuk M Jamil 4 Juni lalu, badan Putra membengkak sehingga beratnya bertambah menjadi 8 Kg. Sejak di rawat di M Jamil, pembengkakan itu menghilang dan kondisinya mulai pulih. Saat ini Putra Sanger memiliki berat 7,6 kg.

“Dulu labiah barek dek sambok (bengkak-red). Kini yang 7,6 kg tu lah barek nan sabananyo,” kata Leni.

Sebelumnya Leni tidak pernah tahu kalau anaknya itu menderita gizi buruk. Awalnya hanya sakit biasa-biasa saja. Apalagi Putra yang adalah anak sau-satunya ini terlahir normal. Saat lahir berat badannya 2,7 Kg. Meski pernah mengalami Step pada usia 1 tahun dan 1,5 tahun, Putra tumbuh sebagaiman layaknya balita lainnya. Bahkan saat berumur 2 tahun, putranya itu memiliki berat normal 14 Kg.

Namun selepas umur dua tahun berat badan Putra terus menurun. Badannya mulai membengkak, kepala membesar dan kaki mengecil. Di usia 2,5 tahun berat Putra hanya tinggal 8 kg saja. Sejak saat itu, Putra berkali-kali keluar masuk rumah sakit. Sampai akhirnya salah satu Puskesmas di Gunung Talang merujuknya ke M Jamil Padang.

Saat ditemui di RS M Jamil, Leni sedang menyiapkan asupan makanan untuk putranya itu. Lewat slang yang dipasangi di hidung Putra, Leni memasukan makanan cair seperti susu. “Kini lah bisa makan nasi lunak. Lah jauh bedanya dibandingan waktu partamo masuak dulu,” kata Leni.

Keterbatasan ekonomi dan minimnya pengetahuan soal gizi diperkirakan penyebab Putra menderita gizi buruk stadium lanjut. Apalagi keluarga ini adalah pasangan muda. Sang ibu saat melahirkan masih berumur 17 tahun lebih.

Hal ini setidaknya tergambar dari hasil diagnosis dokter yang merawat Putra. Menurut salah seorang paramedis dr Hernofialdi, kasus gizi buruk yang menimpa Putra Sanger, murni karena kurangnya asupan gizi yang masuk. Selain faktor ekonomi keluarga yang pas-pasan, diduga juga disebabkan kurangnya pengetahun orang tua soal perkembangan anak.

“Gizi buruk yang dideritanya ini masuk kategori Gizi Buruk Kwashiorkor yang ditandai membengkaknya tubuh pasien karena kekurangan protein. Kurangnya pengetahuan orang tua bisa jadi penyebabnya, apalagi mereka kan pasangan muda,” kata Hernofialdi.

Gizi buruk tidak menyerang tiba-tiba. Tapi secara perlahan. Bisa jadi anak yang lahir dalam kondisi normal, bisa menderita gizi buruk, jika asupan makan berkurang.

Secara medis, katanya, gizi buruk dibagi atas tiga tipe, yakni kwarshiorkor (bengkak), marasmus (kurus kering) dan marasmus kwarshiokor. Secara klinis, gizi buruk kwashiorkor ditandai adanya edema atau bengkak pada kaki, tangan, atau anggota badan lain. Wajahnya sembab, berat badan kurang menurut umur, otot kendur, tidak ada nafsu makan, lesu dan terlihat sengsara, muka bulat, hati membesar, dan kulit pecah mengelupas. Adanya perubahan status mental, apatis, dan rewel dan diare.

Sementara itu, Marasmus ditandai badan amat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, wajah seperti orangtua, perut buncit, sifatnya lekas marah dan mudah rewel, anak mudah menangis, banyak mengeluh, dan selalu kelaparan.

Sedangkan marasmus kwashiorkor adalah kombinasi keduanya. Anak menderita Edema, tetapi karena otot sudah hampir tidak terlihat lagi, maka berat badan pun amat ringan. Berat badan selalu di bawah standar. Tanda-tanda lain yang menyertai adalah muka bulat, rambut tipis, kulit pecah mengelupas, dan terlihat sengsara.

Kehidupan keluarga yang pas-pasan diakui Leni. Dia menyebutkan, sang suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Dasral hanya pekerja serabutan. Kalau tidak bertani, dia menjadi buruh. Akibatnya, kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Paling banter, Dasral hanya bisa membawa pulang pendapatan Rp 300 ribu per bulan.

“Yo ba lai pak, kadang-kadang uda wak lai dapek Rp 300 ribu kadang-kadang indak. Makonya Putra, kadang lai makan jo daging tapi acok nasi sajo nyo,” katanya menghiba. Pasangan sehari-hari tinggal bersama orang tua Leni di Kelurahan Sungai Janiah Kecamatan Gunung Talang Kabupaten Solok yang terkenal sebagai lumbung beras di Sumbar. Beras Solok adalah beras kualitas pertama di Indonesia.

Selama dirawat di RS M Jamil, Leni sedikit tertolong karena biaya perawatan Putra ditanggung Askeskin. Namun tidak semuanya gratis, Leni juga harus memikirkan makanan tambahan untuk anaknya, susu dan obat-obat tertentu. Setiap dua hari sekali dia harus mengeluarkan uang Rp 50 ribu untuk membeli susu. Itu pun belum termasuk biaya kebutuhan dia sehari-hari di rumah sakit.

Meski sudah sebulan lebih dirawat di M Jamil, Leni mengatakan belum ada bantuan yang datang dari Pemda Solok. Dirinya memang pernah dijanjikan akan mendapatkan bantuan, namun sampai saat ini belum teralisasi. “Lah panek lo maurus bantuan tu. Wak diopor-opor se nyo,” sebutnya.

Ahli gizi dari Universitas Andalas Padang, dr Zulkarnain Agus mengatakan 3,9 persen balita di Sumbar menderita gizi buruk. Separuhnya penderita tipe gizi buruk kwashiorkor. Sayangnya, yang nyasar ke rumah sakit itu tidak seberapa.

“Kasus gizi buruk itu seperi gunung es, hanya puncaknya saja yang kelihatan,” kata Zulkarnain Agus yang saya hubungi lewat telepon selulernya, Selasa (15/7).

Kasus gizi buruk kwashiorkor memang susah terpantau, jika orang tua tidak melakukan pengecakan rutin ke Posyandu. Gizi buruk satu ini baru kelihatan setelah berbulan-bulan. Dan biasanya ketahuan saat sang ibu membawa bayinya ke rumah sakit, karena menderita penyakit lain.

Sang ibu tidak menyadari balitanya terkena gizi buruk, karena memang anak bukannya kurang makan. Biasanya Balita tetap makan tiga kali sehari, hanya saja asupan gizi terutama protein kurang. Disamping tingkat pengetahuan orang tua, kemiskinan juga menjadi faktor lainnya.

Berdasarkan penelitiannya, kasus gizi biasanya cukup tinggi di daerah pinggiran seperti Solok, Pesisir Selatan, Dharmaraya, Pasaman dan lainnya. Di daerah ini, katanya, selain pola pengasuhan yang kurang baik, akses masyarakat pada kesehatan juga rendah.

“Biasanya jika ditemukan kasus gizi buruk Kwashiokor di suatu daerah, maka itu bukan satu-satunya. Pastinya ada balita lain yang menderita hal yang sama. Hanya tidak diketahui orang tua,” tegasnya.

Gizi buruk Kwashiorkor bisa disembuhkan dengan perawatan. Namun, si anak tidak mungkin lagi mengejar ketertinggalannya, terutama dalam hal kecerdasan intelegensi.

Gizi buruk jenis ini, jelas Zulkarnain, memiliki ciri tubuh anak membengkak karena kurang protein, rambut rontok dan pirang. “Kwashiokor biasanya memang terjadi pada anak berusia 1-3 tahun. Namun tertinggi terjadi pada usia 1-2 tahun. Karena saat ini, sang anak mulai makan sendiri, dia nyuap sendiri dan sang ibu biasanya hamil lagi,” tambahnya.

Melihat kasus yang menimpa Putra Sanger, Zulkarnain memperkirakan anak pertama pasangan Leni dan Dasral ini sudah menderita gizi buruk sejak setahun terakhir. Hanya saja sang ibu tidak menyadari.

“Ibu harusnya curiga jika anak diam saja, tidak rewal, tidak suka bermain. Bisa jadi ada yang salah dengan kondisi anak. Makanya pengintensifan Posyandu sangat penting” jelas Zulkarnain.

Data Dinas Kesehatan Sumbar, jumlah penderita gizi buruk memang didominasi daerah pinggiran dan pemekaran. Di Kabupaten Dharmasraya sekitar 3 persen balita gizi buruk, Kabupaten Pasaman Barat 2,9 persen, dan Kabupaten Solok Selatan 2,8 persen dari 473.804 jumlah Balita di Sumbar. Data Dinkes 2006 menunjukkan, status gizi buruk di Sumbar 2,9 persen, gizi kurang 12,9 persen, dan sangat kurus 1,8 persen.

Ini tentu saja memprihatinkan, mengingat Gubernur Gamawan Fauzi sebelumnya telah membuat surat kepada seluruh Bupati dan Walikota se Sumbar untuk memantau perkembangan gizi balita, sebagai tindak lanjut hasil penimbangan massal 2006. Surat bernomor 445/749/Sespora-2007 itu dikeluarkan 24 Mei 2007 lalu. (nto)

Komentar»

1. ngatini - Juli 16, 2008

aduhh postingan nya jadi bikin sedih…tapi moga2 kita semua bisa mengambil hikmah ya..salam

2. imoe - Juli 17, 2008

waduhhhhhh sedih mendengar solok kena gizi buruk lagi…soalnya saya pernah punya program gizi di bukik silehhh emang memprihatinkan….tetap semangat untuk pak I NYoman (Dinkes Solok)

3. Rahmens Syamun, dr - Februari 19, 2009

Saya kaget membaca tulisan saudara, tapi kita bingung juga mau memulai dari mana untuk bisa mengatasi masalah ini.Dari satu sisi kita terjepit pada masalah klasik kebijakan dan birokrasi kesehatan yang rumit apalagi untuk masyarakat dengan pendidikan rendah,di sisi lain masyarakatnya sendiri ngk mau di didik dan di bina…Tapi bagaimanapun ini harus diselesaikan…ini tanggung jawab kita..

4. ina - April 27, 2013

Adakah sumber sumber gizi lokal yang murah disana?


Tinggalkan komentar